Senin, 19 September 2016

Kisah Inspiratif menjadi Agen Prudential Sukses

Agent Prudential

Tahun Ke 1


Bapak ALI Joint pada awal Tahun 2016 start sebagai Agent pada tahun pertama. Agent Ali masih dalam tahap belajar dan akan dibimbing langsung oleh seorang Leader yang berpengalaman dan dibimbing melalui sistem pelatihan Training. Sebagai seorang Agent, Agent Ali tidak ada kewajiban target API tertentu, tetapi Agent Ali memutuskan ingin mencapai income besar maka Agent Ali mengikuti Step By Step Sistem dan Jenjang Karir sesuai Sistem Bisnis. Step pertama yang harus dilakukan Agent Ali adalah melakukan 


Omzet 150 Juta API ( Formula Sukses 150 Juta API ) adalah  Anak Tangga Pertama untuk dapat mencapai jabatan tertinggi yaitu Agency Manager dengan Income Rp 100 Juta/Bulan

Caranya sangat gampang dan mudah, Agent Ali mengajak orang untuk menabung di rekening ini dengan cara bercerita Program Rekening 3 in 1 Plus ini kepada teman-teman dekatnya Agent Ali sebelum bercerita sebaiknya Agent Ali mempersiapkan dahulu daftar nama-nama temannya Agent Ali yang akan ditawarkan Program sebagus ini, hal ini agar Agent Ali dapat terarah dalam bekerjanya 

Dalam 1 Hari Agent Ali harus bercerita Rekening 3 In 1 Plus @ selama 15 menit ke  2 orang temannya,
Dalam 1 Minggu  5 hari kerja, Agent Ali sudah cerita total ke 10 orang,
Dalam 1 Tahun hanya 40 Minggu cerita dikali 10 orang maka Agent Ali sudah bercerita total ke 400 orang temannya dalam hal ini tentu nya bisa saja teman dekatnya, teman bermainnya, teman kantornya, teman di tempat beribadahnya dll.
  
Misalkan dari sekian banyak orang yang ditawarkan yang mau hanya 10%. Artinya dari 400 orang tersebut ada 90% yang tidak mau dengan segala alasan yang artinya menolak tidak mau ambil Program ini dan hanya ada 10% (40 nasabah) yang mau membuka Rekening 3 In 1 Plus dengan Agent Ali. Ke 40 Nasabah menabung rata-rata hanya @ Premi Rp 500ribu/bln. Uang Rp. 500 Ribu ini dikalikan setahun ( Rumus API disetahunkan berarti 6 jt  ) kemudian kita pecah menjadi dua dimana :

Pertama : untuk unsur Proteksi Kesehatan, Proteksi Asuransi Jiwa, Proteksi Sakit Kritis, Proteksi Bebas Premi dll untuk Nasabahnya sebanyak  Rp. 333.333 atau 4 Jt apabila disetahunkan dan, 

Kedua : untuk unsur Tabungan Investasi Nasabahnya sebesar Rp. 166.667 atau 2 Jt apabila disetahunkan. Dan kemudian di akhir tahun 2016 artinya Agent Ali telah mengantongi omset = 40 NAsabah X 4 Juta API = 160 Juta API. Kita bulatkan ke angka API 150 Juta API untuk memudahkan perhitungannya.


Perhitungan simple nya Income Agent Ali pada saat  akhir Tahun 2016 adalah API Pribadi Agent Ali : Rp 150,000,000


Pada saat akhir tahun Agent Ali sudah mendapatkan Income sebesar Rp. 3.750.000 setiap bulannya dan mendapatkan Bonus Akhir tahun sebesar 12% dari Omzet penjualan selama setahun yang diberikan setahun sekali yang akan ditransfer ke rekening pribadi Agent Ali sebesar Omzet 150 Jt API X 12% = Rp. 18.000.000 dan kalo dibagi 12 bulan berarti Rp. 1500.000 dan sama artinya Income Agen Ali setiap Bulannya adalah Rp. 3.750.000 + Rp. 1.500.000 = Rp. 5.000.000 setiap bulannya sesuai Sistem dan Jenjang Karier yang di Janjikan.

Seorang Agent berhak memperoleh total income yang hampir sama dgn total omset API yg dicapai (99% X API) Apabila misalkan seorang Agent dalam 1 tahun memperoleh API 400 Juta, maka seorang agent tersebut sama artinya sudah  memiliki cadangan tabungan hampir Rp 400 Juta. Di mana apabila agent menyicil rumah senilai Rp 400 Juta maka akan  lunas dalam hanya 5 tahun saja.

Note:
Komisi diberikan setiap periode, bonus di berikan 1 tahun sekali. Ketika nasabah disetujui, Agent langsung mendapatkan komisi yang keluar per 2 minggu sekali (tanggal 5 atau tanggal 20). Jika nasabah menabung tahunan maka komisi diberikan total setahun, jika menabung semesteran maka komisi diberikan per 6 bulan, jika menabung triwulan maka komisi diberikan  per 3 bulan, jika menabung bulanan maka komisi diberikan perbulan.

Minggu, 08 Mei 2016

TERRORISM HAS NO RELIGION (Say NO)

     Tepatnya pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB, Indonesia kembali dikejutkan oleh serangan teror berupa peledakan bom di area Jl. Thamrin Jakarta Pusat. Ini bukan kali pertama bangsa Indonesia dihadapkan pada ancaman keamanan dan ketentraman yang selama 71 tahun di bangun pasca proklamasi kemerdakaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
     Secara kronologis, Indonesia telah mengalami beberapa gangguan keamanan akibat teror yang mengatasnamakan "jihad" sejak tahun 1981, tepatnya pada tanggal 28 Maret, sekelompok orang membajak pesawat Garuda Indonesia yang melakuakan penerbangan dari Jakarta ke Medan.
     Pada 21 Januari 1985, teror kembali terjadi di area candi Borobudur. 15 tahun berlalu, pada tahun 2000 Indonesia kembali berhadapan dengan aksi teror yang terjadi beberapa kali sepanjang tahun. Pada tanggal 1 Agustus, bom meledak di kantor kedutaan Filiphina. Pada 27 Agustus kembali terjadi ledakan bomyang kali ini targetnya adalah kedutaan Malaysia. 13 September, gedung Bursa Efek (BE) di Jakarta di ledakkan yang memakan korban jiwa dan menyebabkan kerusakan parah. 24 Desember, dikala kaum Kristiani sedang memperingati malam Natal, ledakan bom mewarnai momen ini di beberapa kota yang juga menelan korban jiwa.
     Setahun kemudian, di tahun 2001, beberapa peristiwa dengan ledakan bom terjadi. Pada 22 Juli di Gereja Santa Anna, Jakarta. 23 September di Plaza Atrium Senen, Jakarta. 12 Oktober di restoran KFC Makassar. 6 November di Australian International School (AIS), Jakarta. Pada tahun 2002 terjadi serangan bom di rumah makan Bulungan, Jakarta dan beberapa gereja di Palu, Sulawesi Tengah pada 1 Januari. Aksi teror yang terbilang besar juga terjadi pada tahun ini di Bali, kemudian dikenal "Bom Bali".
     Serangan teror terhebat sepanjang teror itu terjadi pada 12 Oktober dengan tiga titik tempat kejadian, sebanyak 202 korban jiwa dan 300 korban luka-luka. Secara bersamaan teror bom juga terjadi di Manado, Sulawesi Utara dan kantor KJ, Filiphina. Pada 5 Desember, bom meledak di restoran MCDonalds, Makassar. Aksi teror terus terjadi, sepanjang tahun 2003 peristiwa teror di lobi Wisma Bayangkari, Mabes Polri, Jakarta, tepatnya pada tanggal 3 Februari. 27 April, Jakarta kembali diguncang aksi teror bom di bandara Soekarno-Hatta, disusul ledakan bom di hotel JW Marriot pada tanggal 5 Agustus.
     Di tahun berikutnya 2004, bom meledak di Palopo pada 10 Januari. Pada 9 September di tahun yang sama, bom juga meledak di kantor Kedutaan Besar Australia yang menyebabkan korban jiwa sebanyak 5 orang dan beberapa orang menderita luka-luka. Gereja menjadi sasaran teror yang terjadi di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember.
     Serangan teror kembali terjadi sepanjang tahun 2005, yakni pada 21 Maret di Ambon, 28 Mei di Tentena, 8 Juni di Pamulung, Tanggerang, 1 Oktober di area Pantai Kuta dan Jimbrana, Bali, 31 Desember di Pasar Palu, Sulawesi Tengah.
     Tahun berikutnya mengalami jeda selama empat tahun dan kembali peristiwa teror mengusik keamanan Ibu kota di tahun 2009, tepatnya 17 Juli di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton. Menyusul serangan bom oleh teroris di tahun 2011 yang terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon pada 15 April, kemudian pada 22 April di tahun yang sama terjadi aksi teror bom menyasar ke Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tanggerang Selatan, namun aksi itu gagal karena bom mampu dijinakkan oleh Densus 88 sebelum meledak. 25 September di Solo, Jawa Tengah GBIS Kepunton terjadi aksi bom bunuh diri.
     Rangkaian peristiwa yang beruntun itu jika dicermati secara seksama, kita dapat melihat bahwa Ibukota sebagai pusat pemerintahan di Indonesia paling banyak menjadi target serangan oleh kelompok teroris. Dan secara spesifik, tempat-tempat yang memiliki geneologi dengan kepentingan "Asing" juga paling sering menjadi target,berikutnya tempat ibadah, dan terakhir area yang menjadi domain penegak hukum, polisi.
     Jika ditelisik dari sejarah, ada fakta yang mengurai bibit bersemainya kelompok-kelompok "jihadisme" ini. Yakni erat kaitannya dengan sosok Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu 7 Januari 1907, pada tahun 1948, Kartosoewirjo mulai merintis gerakan yang bernama Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) DAN dan diproklamirkan pada 7 Agustus 1949 di Cisampak, Tasikmalaya.
     Setelah dideklarasikan, DI/NII mengambil langkah oposisi terhadap pemerintahan yang terbentuk dengan alasan ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah dalam menerima perjanjian-perjanjian dengan Belanda dan dugaan ideologi komunis telah menguasai pemerintahan.
     Kepentingan politik Kartosoewirjo rupanya menjadikan Islam sebagai alat untuk melandasi gerakan dan menjadi dalih pandangannya. Muncullah istilah "takfiri" yang digunakan untuk menyebut pihak-pihak penentang gerakan DI/NII. Bagi Kartosoewirjo, menyatakan orang sebagai "kafir" karena bertentangan dengan ide gerakannya adalah sah, bahkan kepada guru sekaligus mertuanya sendiri, Kyai Yusuf Tauziri yang menentang pemberontakan Kartosoewirjo terhadap pemerintah. 
     Tak berhenti dengan tuduhan "kafir", Kartosoewirjo melanjutkannya dengan melakukan serangan bersenjata DI/NII terhadap pesantren Kyai Yusuf pada periode tahun 1949 hingga 1958.
      Setelah Kartosoewirjo tertangkap dan dieksekusi mati pada 1962 oleh pemerintah, pemahaman radikal Kartosoewirjo rupanya telah merasuki pengikut-pengikut militannya, sebab paska bebas dari penjara, para anggota DI/NII ini melakukan konsolidasi dan perekrutan anggota baru, kemudian membentuk wadah baruyang dinamai Komando Jihad untuk meneruskan pemahaman radikal Kartosoewirjo.
     Sialnya, baru seumur jagung gerakan ini terendus pihak aparat dan dibubarkan. Pentolan-pentolan yang ditangkap dari kelompok Jihad ini adalah Danu Muhammad Hasan, Dodo Muhammad Darda Ismail Pranoto dan Gaos Taufik. Sementara yang berhasil lolos adalah Aceng Kurnia dan Adah Djaelani, kedua orang inilah yang meneruskan ideologi Kartosoewirjo, "jihad" dan dimulailah aksi-aksi teror mereka pada 1976 dengan pembiayaan yang didapatkan dari aksi-aksi perampokan yang mereka sebut sebagai "fa'i".
     Bibit radikalisme yang telah ditanam oleh Kartosoewirjo terus melakukan remodelling gerakan, menyamarkan nama organisasi dan kaderisasi secara sembunyi-sembunyi. Muncullah sel-sel organisasi yang berakar dari DI/NII, sebut saja Jamaah Islamiyah dengan tokohnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, keduanya pengasuh pondok al-mukmin Ngruki Sukoharjo yang direkrut oleh Ismail Pranoto, Badan Pembangun Muslimin Indonesia dengan tokohnya Mursalin Dahlan, Majelis Mujahidin Indonesia dengan tokohnya Muhammad Achwan.
     Pada 1982, Mursalin Dahlan menemukan momentum untuk menguatkan basis jaringan yang dimiliki ketika mampu meyakinkan stakehoders pesantren di Bandung untuk bergabung di Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat (LP3K) yang didirikan, kemudian mengadakan program pesantren kilat di wilayah Jawa Barat dan Jawa timur yang bekerjasama dengan Husein Al-Habsyi.
     Kongsi yang mereka jalin disatukan dalam satu wadah Ichwanul Muslimin Indonesia (IMI) yang memiliki orientasi selain menggelar pesantren-pesantren kilat juga melakukan kaderisasi dan propaganda ideologi untuk mewujudkan revolusi di Indonesia.
      Aksi yang dilakukan dari jaringan ini misalnya pengeboman bank BCA di Jakarta tahun 1984, peledakan bom di candi Borobudur tahun 1985. Melalui Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir yang melarikan diri ke Malaysia karena ditetapkan sebagai buron oleh pihak keamanan, kelompok jihadis ini mulai meretas jaringan internasional setelah bertemu dengan Abdur Robbi Rasu Sayyaf di Pakistan dan terjadi kesepakatan untuk mengirimkan kader-kader DI yang tergabung dalam sel-sel organisasi ideologis dari Indonesia guna mengikuti latihan militer di Afghanistan.
      Pada tahun 1985, rencana ini terealisasi dengan dikirimnya Ali Ghufron alias Mukhlas, Enceng Nurjaman alias Hambali Faturrohman al-ghozi, Ainu Bahri alias Abu Dujana, Abdul Aziz alias Imam Samudra untuk mengikuti pelatihan militer yang diselenggarakan oleh al-ittihad al-islamy di Afghanistan. Kader-kader ini dibekali keahlian dalam persenjataan, perakitan bahan peledak dan latihan militer. Hasilnya adalah beberapa rangkian teror besar yang terjadi di Indonesia di otaki oleh alumnus pelatihan militer ini.
    Pada perkembangannya, teror yang terjadi di Indonesia paska tragedi 11/09/2001 yang menyerang menara kembar Amerika seringkali dikait-kaitkan dengan jaringan terorisme internasional yang menjadi trademarknya. Seperti al-Qaedah yang dipimpin oleh Oesama bin Laden memimpin kekuasaan jaringan terorisme terkuat di dunia sebagaimana yang dituduhkan oleh Amerika.
    Selanjutnya ketika muncul kelompok Islamic State of Irac and Suriah (ISIS), maka pada peristiwa bom Thamrin 14 Januari 2016 disinyalir bahwa pelaku punya hubungan dengan jaringan ISIS, Bahru Naim. Pada teror terakhir ini, terdapat banyak bias orientasi teror yang dilakukan, misalnya terkait obyek peledakan bukan lagi lokasi vital, kostum pelaku yang tidak mencerminkan anti-amerika sampai kontestati politikdalam jaringan terorisme internasional sebagaimana dienduskan oleh pernyataan pihak kepolisian dan pengamat. 
     Melihat fakta-fakta yang terjadi, Teuku Kemal Fasya dalam Kompas (edisi 19 Januari 2016) membuat kesimpulan dari sudut pandang semiotik bahwa teror di "Sarinah" yang di-blow up oleh media lebih mendekati simulacra (realitas semu) daripada fakta sebenarnya. Pada kasus ini, opini publik sedemikian rupa dibentuk dalam upaya menetralisir ketakutan masyarakat dengan menggunakan kemahiran olah bahasa berupa simpulan-simpulan yang masih praduga.
     Bertitik tolak dari rentetan peristiwa teror itu, terbangun opini publik bahwa radikalisme identik dengan Islam. Padahal jika dilihat dari geneologi terorisme di atas dapat dipahami bahwa tendensi politis lebih kuat terdapat dalam gerakan yang dibangun oleh Kartosoewirjo dibanding tendensi agama, pun dalam perkembangan berikutnya.
     Agama, yakni Islam hanya menjadi alat untuk menyembunyikan ambisi personal untuk merebut kekuasaan atau menyampaikan ketidakpuasan. Memang tidak bisa dipungkiri, Islam memiliki titk lemah untuk menjadi tertuduh dalam hal ini, oleh karena terdapat doktrin jihad, banyak literatur Barat diistilahkan dengan "holy war" di dalam sumber-sumber suci Islam.
     Tapi persoalannya bukan pada Islam yang membuka lebar pemahaman dan memberi kebebasan bagi pemeluknya untuk melakukan interpretasi terhadap teks-teks di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, melainkan psikologi personal dan tendensi keberagaman pemeluknya yang mestinya harus di evaluasi.
    Teror yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok merupakan dorongan kejiwaan, tanpa memandang latar agama yang dianut. Misalnya, seseorang melakukaan pembunuhan akan dilihat pada motif dan kondisi kejiwaan yang bersangkutan, tidak dilihat dia beragama apa. Pun dengan teroris yang mestinya secara obyektif dipandang dari arah yang sama.
    Kasus lain yang terjadi di Amerika Serikat untuk beberapa kali, yakni penembakan yang dilakukan warga Amerika sendiri dan menyebabkan sejumlah korbannya meninggal dunia. Kenapa tidak muncul pemberitaan bahwa media pelaku adalah teroris dari kelompok non Islam?.
     Menghadapi stereotype (pelabelan jelek) terhadap Islam ini, maka pesantren sebagai citra Islam di Indonesia perlu mengambil peran penting untuk melakukan restorasi terhadap stigma-global tersebut terlebih muncul pernyataan dari salah satu Pejabat Negara yang dengan ceroboh mengatakan "pesantren adalah sarang teroris".
Maka sudah waktunya masyarakat pesantren bergerak pada satu padu untuk menunjukkan citra rahmatan lil 'alamin (penebar kasih sayang bagi alam semesta) dan patron Kyai pesantren yang yandzuru ila al-ummah bi 'aini al-rahmah (memandang umat dengan mata cinta kasih) dengan banyak cara yang dapat dipilih dan "kita (santri) bukan teroris".
Salah satunya adalah melalui penerbitan media baik digital maupun cetak untuk membandingkan informasi-informasi yang sudah banyak tersebar di dunia maya yang justru menguatkan stigma itu, entah kelompok mana yang sengaja menyebarkannya. Cara berikutnya, bersama pemerintah dan masyarakat umum bahu-membahu untuk menciptakan suasana yang aman dan mencegah aksi teror sejak dini dengan memberikan informasi kepada pihak berwajib terkait aktifitas-aktifitas yang mencurigakan.
Sebagai penutup tulisan ini adalah sebagai bagian masyarakat pesantren dan Islam ala Ahl al-sunah wa al-jamaah, kami siap untuk melawan paham Ekstrim Takfiri apapun sebutan nama sel organisasinya dan menolak teror apapun bentuknya yang menghancurkan Islam dan NKRI, Pancasila dan UUD 1945.